Manusia Hakikatnya Tidak Berpunya

Oplus_131072

Oleh: Ismawati

Hidup di wilayah yang masih menyisakan tanah di sekitar rumah, membuat hati ingin bercocok tanam. Memanfaatkan sekeliling rumah, barangkali ada yang bisa bermanfaat. Tanaman jambu dipilih menjadi salah satu tanaman yang kami tanam di pekarangan rumah. Atas izin Allah Swt. tanaman jambu tersebut akhirnya berbuah. Pohonnya pendek, tetapi buahnya cukup banyak. Jika sampai matang, buahnya besar dan rasanya cukup manis. Hanya saja, letak rumah saya yang pas di pinggir jalan tempat lalu-lalang orang lewat, membuat siapa saja leluasa untuk mengambilnya.

Suatu ketika, buah jambu yang masih kecil dan sangat ditunggu kematangannya, hilanglah satu per satu. Akibatnya, hal ini membuat saya cukup geram. Buah yang dinanti tumbuh tak sampai matang satu per satu hilang. Harapan saya sirna dibuatnya. Sampai akhirnya saya berniat mengadukan hal ini kepada suami. Tujuannya untuk memindahkan pohon tersebut, atau setidaknya membuat pagar agar tidak mudah dijangkau. Niat tersebut sudah terbesit sekaligus tata cara melakukannya.

Sebuah Teguran

Tak disangka, respon suami sangat berbeda dengan apa yang saya pikirkan. Ada beberapa pelajaran yang bisa diambil dari kisah nyata ini. Berikut di antaranya:

Pertama, sadar bahwa manusia sejatinya tidak memiliki apapun. Apa yang Allah Swt. beri kepada kita hari ini, sejatinya itu semua adalah titipan. Allah Swt. berhak mengambilnya kapan dan bagaimanapun caranya. Sebagaimana firman Allah Swt.

وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

“Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali semua makhluk.” (QS. An-Nuur: 42).

Teguran pertama ini membuat saya merasa berdosa. Bahwa begitu rendah diri ini, mampu melampaui batas kepunyaan Allah Swt. Ketika sampai pada pemahaman ini, barulah sebagai hamba kita sadari bahwa hakikatnya kita tidak memiliki apapun. Sikap ini penting dimiliki seorang muslim, agar kita tidak pernah merasa kehilangan.

Kedua, sikap murah hati. Yakni meniatkan apa yang kita tanam ini sebagai ladang untuk bersedekah. Siapapun yang mengambilnya harus dianggap sebagai ladang sedekah. Amal sedekah kelak akan dilipatgandakan pahalanya di sisi Allah Swt melalui firman-Nya:

مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَا لَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَا بِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَا للّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَآءُ ۗ وَا للّٰهُ وَا سِعٌ عَلِيْمٌ

“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 261).

Meskipun, tak menampik dari sisi yang lain bahwa mengambil hak orang lain adalah tak dibenarkan. Oleh karena itu, saya dan suami berprinsip tanaman apapun yang ada di perkarangan rumah sudah diziinkan diambil, sejak tanaman itu ditanam dan tumbuh. Semoga dengan kebermanfaatannya dapat membawa berkah untuk kami pemiliknya. Aamiin.

Ketiga, jadilah orang yang bermanfaat. Sejatinya, sebagai seorang muslim letak kebahagiaan adalah bukan apa yang kita peroleh, melainkan apa yang kita beri. Salah satu caranya adalah bermanfaat bagi orang lain. Jika dikaitkan dengan kisah ini sangat related. Jadilah yang bermanfaat untuk orang lain. Bukan hanya tanaman jambu saja yang ada di rumah, tetapi tanaman yang lain. Biarkanlah dia tumbuh subur, atas izin Allah dan memberikan manfaat atas orang yang membutuhkannya.

Bisa jadi, orang yang mengambilnya karena sedang ingin atau sekadar menunda laparnya. Masya Allah. Kabar baiknya, Allah Ta’ala memiliki orang yang telah terpilih menjadi orang yang bermanfaat untuk sesamanya, bahkan diberikan predikat sebagai sebaik-baik manusia. Rasulullah saw. bersabda,

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR Ahmad).

Pelajaran Berharga

Sungguh, bagi saya adalah pelajaran berharga dari apa yang saya alami tersebut. Sebagai seorang muslim, hakikatnya kita tidak memiliki apapun di dunia ini. Semua akan kembali kepada Allah dan yang tersisa adalah aktivitas kita yang membutuhkan pertanggungjawaban.

Allah akan mudah memberikan apapun kepada manusia, dan juga mudah mengembalikan apapun dari manusia. Oleh karenanya tidak dibenarkan manusia berbuat tamak, menuruti hawa nafsunya sendiri. Obat dari sifat tamak ini adalah menyadari hakikatnya kelak setiap apa yang kita miliki, akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. Rasulullah Saw. bersabda,

“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya” (HR. Tirmidzi).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *