Memarketing kemudahan berusaha, mendulang investasi
PALEMBANG, MERAHPUTIHNEWS.CI.ID – Kesejahteraan adalah tujuan utama negara. Dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, disepakati bahwa Pemerintah Negara Republik Indonesia akan melindungi seluruh bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Salah satu faktor yang mendorong kesejahteraan adalah memandirikan masyarakat dengan menjadi wirausaha atau meningkatkan iklim investasi. Joseph Schumpeter dalam The Theory of Economic Development menyatakan bahwa kewirausahaan adalah salah satu roda penggerak pembangunan ekonomi. Inovasi, lapangan pekerjaan baru, dan peningkatan penerimaan negara melalui pajak akan terdorong oleh sektor kewirausahaan atau entrepreneurship Katadata (2024).
Data Kementerian Perindustrian Republik Indonesia tahun 2021 menunjukkan rasio pengusaha di Indonesia hanya sekitar 3,74 persen dari total populasi. Angka itu jauh di bawah negara maju yang mencapai 12 persen. Rendahnya jumlah pengusaha di Indonesia ini disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.
Secara internal, banyak masyarakat yang lebih memilih bekerja di sektor formal daripada berwirausaha. Sementara itu, faktor eksternal mencakup kebijakan pemerintah yang belum optimal dalam mendorong dan menumbuhkan jiwa kewirausahaan serta meningkatkan iklim investasi, seperti melalui bantuan modal, pinjaman lunak, pendidikan, pelatihan, pendampingan, dan kemudahan berusaha.
Untuk meningkatkan kemudahan berusaha, Presiden Jokowi telah mengeluarkan beberapa paket kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan pemerintah dalam pengurusan izin agar lebih mudah, efisien, dan terintegrasi dengan teknologi informasi.
Pada tahun 2020, Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Undang-undang ini mengubah pendekatan perizinan dari berbasis izin (licensing-based approach) menjadi berbasis risiko (risk-based approach/RBA) dengan tujuan memberikan kemudahan dan kepastian berusaha yang terarah pada peningkatan daya saing daerah.
Perubahan signifikan dilakukan dengan deregulasi aturan yang mengatur perizinan usaha. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 sebagai turunan dari UU Cipta Kerja, pemerintah mengimplementasikan sistem Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission Risk Based Approach (OSS RB).
Secara singkat, Perizinan Berusaha Berbasis Risiko mengelompokkan perizinan berdasarkan pada tingkat risiko dari suatu kegiatan usaha. Untuk usaha dengan Risiko Rendah (R) dan Risiko Menengah Rendah (MR), perizinan dapat diselesaikan melalui sistem Online Single Submission (OSS) tanpa memerlukan verifikasi atau persetujuan dari Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah. Sementara itu, usaha dengan Risiko Menengah Tinggi (MT) dan Risiko Tinggi (T) memerlukan verifikasi atau persetujuan dari Kementerian/Lembaga/Pemerintah.
Di tingkat daerah, implementasi paradigma perizinan berbasis risiko bergantung pada kesiapan dan tindak lanjut daerah, terutama dalam hal kebijakan, kelembagaan (organisasi dan SDM), dan infrastruktur layanan digital (sarana prasarana dan jaringan internet).
Di Kabupaten Ogan Komering Ilir implementasi kebijakan tersebut dimulai sejak tahun 2021. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP) Kabupaten Ogan Komering Ilir telah memperbarui sistem OSS dari versi 1.0 ke OSS versi RBA. Dari aspek regulasi, kebijakan ini didukung oleh Peraturan Bupati Nomor 41/2021 tentang Perizinan Berusaha, Perizinan Non Berusaha, dan Pelayanan Non Perizinan.
Pada tahun 2023, ditetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir Nomor 1 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha, yang disesuaikan dengan amanat UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya (PP 5/2021 dan PP 6/2021).
Dari aspek kelembagaan, Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ilir juga telah menyesuaikan struktur lembaga terkait jabatan fungsional sesuai dengan Permendagri 25/2021. Namun, dari aspek digitalisasi, Kabupaten Ogan Komering Ilir belum memiliki Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) digital yang memadai, dan kapasitas jaringan internet masih belum mumpuni dan belum mencakup seluruh wilayah.
Dari perspektif pelaku usaha, kemampuan dan pengetahuan mereka dalam mengakses OSS RBA bervariasi. Mayoritas pelaku usaha mengakui bahwa mereka memiliki akses terbatas terhadap informasi OSS RBA, yang mereka peroleh secara mandiri atau melalui sosialisasi yang terbatas dalam frekuensi dan kedalaman informasi. Di sisi lain, dalam hal regulasi, pelaku usaha juga belum memahami secara menyeluruh mengenai turunan-turunan UU Cipta Kerja.
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pengimplementasian sistem perizinan berusaha terintegrasi secara Elektronik atau dikenal dengan Online Single Submission (OSS) berbasis resiko di atas perlu mendapat perhatian khusus, terutama dari sisi kualitas pelayanan publik berbasis elektronik serta upaya pemerintah daerah memasarkan kebijakan tersebut. (Jhon)